Beranda > Flash Fiction > Pelangi Untuk Rani

Pelangi Untuk Rani

Ketika itu, Rani berbicara kepada malam yang tidak pernah hening di sudut terminal kota. Dengan alas koran bekas, Ia duduk, bersimpuh, memohon kepada Tuhan, agar diberikan rejeki esok hari. Tidak banyak, tiga puluh ribu rupiah. Cukup untuk makan sehari dan mencicil hutang harian ibunya. Gadis sepuluh tahun itu tidak pernah tahu berapa tahun hutang ibunya lunas, Ia hanya tahu kalau mata rentenir itu selalu berkobar di pagi hari. Dan Ia hanya tahu kalau kaki ibunya lumpuh, dan tidak bisa bekerja lagi setelah Ayahnya meninggal.

“Rani! Sini nak,” panggil Ibu penjual nasi di pinggir terminal yang dari tadi memperhatikan Rani. Rani menoleh, Iapun tersenyum tipis. Dilipatnya koran itu dan meletakkannya di emper toko. Iapun bergegas menghampiri Ibu penjual nasi.

“Gimana hasil hari ini nak?” tanya Ibu penjual nasi.

“Lumayan bu, saya dapat dua puluh ribu rupiah,” jawab Rani sambil menghitung lembaran uang seribuan hasil membantu orang mengangkat barang di areal terminal.

“Kamu sudah makan nak?”

“Sudah bu, tadi siang,” jelas Rani.

“Berarti sekarang kamu belum makan? Nah sekarang duduk dulu, ibu ambilkan kamu makan ya?”

“Tidak usah bu, saya mau pulang, kasihan Ibu saya sendiri di rumah,” ucap Rani.

Ibu penjual nasi mengamati Rani dengan iba. Hatinya meringis, seharusnya Rani menikmati masa indah anak-anak, namun Rani harus berjuang demi sesuap nasi dan Ibunya yang lumpuh. Iapun membungkuskan Rani nasi untuk dibawa pulang. Ia tidak sanggup membendung aliran air dari mata kristalnya setelah Rani berlalu pergi.

***

Siang itu begitu menyengat. Matahari dengan perkasanya membakar bumi. Sementara di sudut terminal terjadi insiden yang tidak seimbang. Hukum rimba bercokol di otak preman terminal.

“Bocah tengil! Mana hasilmu hari ini!” teriak seorang preman. Tangannya mencengkram tangan mungil milik Rani.

“Belum dapat Om!” Teriak Rani ketakutan.

“Kemarin kamu tidak nyetor! sekarang kamu mengelak! Dasar bocah!” maki preman itu sambil terus mencengkram tangan Rani.

Rani ketakutan, Ia berusaha mengupulkan keberaniannya. Dipegang tangan preman itu lalu menggigitnya kuat-kuat. Preman itu berteriak kesakitan, Ia melepaskan pegangannya. Rani berlari sekuat tenaga keluar terminal.

Tidak lama orang-orang di luar terminal berkerumun. Seorang bocah tergeletak bersimbah darah di jalan raya. Rani! Iya Rani tertabrak sepeda motor. Seorang warga melarikannya ke rumah sakit.

“Ada apa pak? Kok tadi banyak orang berlari ke jalan raya?” tanya Ibu penjual nasi kepada salah satu pelanggannya.

“Oh, itu..anak perempuan kecil yang sering kerja di terminal tertabrak motor. Kalau nggak salah, namanya Rani, karena lukanya cukup parah, Ia dilarikan ke rumah sakit,” jawab pembeli nasi. Ibu penjual nasi terdiam, lidahnya kelu.

***

Ibu penjual nasi menatap emper toko tempat Rani berbicara dengan malam. Seminggu sudah Rani tergeletak di kelas ekonomi sebuah rumah sakit. Meskipun ada orang lain yang menggantikan kontrakan Rani, namun tidak mampu menarik perhatian Ibu Penjual nasi.

“Bu, barangnya sudah semua naik ke dalam mobil,” tegur sopir angkot memecah lamunan Ibu penjual nasi. Ibu penjual nasi tersentak, Ia bergegas naik ke dalam angkot.

“Pak tolong nanti serahkan surat ini kepada kepala terminal ya?” ucap ibu penjual nasi.

“Surat apa ini bu?” tanya sopir angkot.

“Surat protes saya kepada perlakuan preman yang ada di sini pak. Karena mulai hari ini saya akan berjualan di dekat rumah sakit. Kebetulan saya membeli toko di sana, meskipun harus mencicilnya selama dua puluh tahun.”

  1. Ely Meyer
    26/03/2012 pukul 6:54 am

    itu preman beraninya kok sama anak kecil ya bli, nggak fair !

  2. 24/03/2012 pukul 9:22 pm

    Salut bli, kepiawaian merangkai empati dalam FF, Salam

Comment pages
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar